Siang yang riuh tergambar di rumah salah satu murid sekolah dasar di Pemalang. Belasan orang tua berkumpul bersama anak - anak mereka. Keriuhan itu bersumber pada kejadian hari Jumat (8/6). Murid - murid berseragam putih merah itu dituding minum - minuman keras. Entah dari mana ide anak - anak itu berinisiatif untuk membeli secara patungan, lalu minum bersama. Meski berkadar alkohol rendah, minuman itu tetap mengundang perdebatan.
Bukan pada kadar alkohol, melainkan akibat dari minum - minuman di rumah kosong itu. Bukan pula bocah - bocah itu mabuk lantas membuat onar. Semua murid yang ikut 'acara' sepulang sekolah itu dinyatakan tidak naik kelas, kecuali seorang murid yang berbeda sekolah. Banyak pihak terkejut mendengar murid SD diputuskan tetap tinggal di kelas secara berjamaah. Tiga belas murid SD dari kelas III, IV,dan V tidak naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Tidak menimbulkan gugat massal bila yang tinggal kelas hanya satu murid. Bisa dipahami murid yang tidak memenuhi nilai standar minimal diminta untuk mengulang di kelas yang sama untuk satu tahun ajaran. Si murid perlu tinggal kelas bila di jenjang yang lebih tinggi justru ketinggalan ajaran dibanding murid lain. Tentu lebih menyulitkan murid bila terjadi nilai katrolan. Maka lebih baik tetap tinggal kelas untuk lebih memantapkan penyerapan ilmu.
Alangkah tidak bijak memaksakan kehendak bahwa si anak harus naik kelas yang nilainya dibawah standar minimal. Tetapi yang terjadi di SDN Mengori 3 tersebut sungguh berbeda. Sang guru memiliki alasan kuat, nilai dibawah standar dan 'memiliki kebiasaan buruk' itu tercatat dalam rapor salah satu siswa. Salah satunya minum - minuman yang diproduksi oleh produsen bir terkenal.
Ironis memang bagi anak - anak yang menjadi generasi emas bangsa ini, tetapi yakinlah bahwa itu bukan kata akhir menjadi orang yang berguna bagi yang lain, paling tidak bagi dirinya sendiri. Jalan ke depan masih sangat panjang. Bangsa sangat berharap lahirnya generasi emas yang saat ini tengah menuntut ilmu sesuai jenjang pendidikannya masing - masing.
Bukan pada kadar alkohol, melainkan akibat dari minum - minuman di rumah kosong itu. Bukan pula bocah - bocah itu mabuk lantas membuat onar. Semua murid yang ikut 'acara' sepulang sekolah itu dinyatakan tidak naik kelas, kecuali seorang murid yang berbeda sekolah. Banyak pihak terkejut mendengar murid SD diputuskan tetap tinggal di kelas secara berjamaah. Tiga belas murid SD dari kelas III, IV,dan V tidak naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Tidak menimbulkan gugat massal bila yang tinggal kelas hanya satu murid. Bisa dipahami murid yang tidak memenuhi nilai standar minimal diminta untuk mengulang di kelas yang sama untuk satu tahun ajaran. Si murid perlu tinggal kelas bila di jenjang yang lebih tinggi justru ketinggalan ajaran dibanding murid lain. Tentu lebih menyulitkan murid bila terjadi nilai katrolan. Maka lebih baik tetap tinggal kelas untuk lebih memantapkan penyerapan ilmu.
Alangkah tidak bijak memaksakan kehendak bahwa si anak harus naik kelas yang nilainya dibawah standar minimal. Tetapi yang terjadi di SDN Mengori 3 tersebut sungguh berbeda. Sang guru memiliki alasan kuat, nilai dibawah standar dan 'memiliki kebiasaan buruk' itu tercatat dalam rapor salah satu siswa. Salah satunya minum - minuman yang diproduksi oleh produsen bir terkenal.
Ironis memang bagi anak - anak yang menjadi generasi emas bangsa ini, tetapi yakinlah bahwa itu bukan kata akhir menjadi orang yang berguna bagi yang lain, paling tidak bagi dirinya sendiri. Jalan ke depan masih sangat panjang. Bangsa sangat berharap lahirnya generasi emas yang saat ini tengah menuntut ilmu sesuai jenjang pendidikannya masing - masing.