Perempauan dengan pasangan berbeda negara dan budaya memiliki
tantangan lebih besar dalam membina harmoni ketimbang pasangan
lainnya. Konsultan pernikahan Indra Noveldy mengungkapkan komunikasi
dan bahasa berpotensi menimbulkan konflik di awal hubungan.
"Contohnya, orang barat dikenal dengan budaya blak - blakan dan apa
adanya, sementara biasanya disini orang biasanya berbicara tidak
langsung alias tersirat," kata Indra.
Tantangan kedua, pandangan pasangan akan definisi keluarga. Bagi
masyarakat dari kultur barat, keluarga terdiri dari suami, istri dan
anak. Disini, menikah berarti siap berinteraksi dengan keluarga besar
pasangan.
Di Indonesia, kapanpun keluaraga datang akan disambut dengan tangan
terbuka. Di barat, hal itu bisa dianggap melanggar privasi.
"Di barat, anak 17 tahun dianggap harus bertanggung jawab dan d3w4s4.
Sementara disini, umur berapa pun biasanya kita akan meminta pendapat
orang tua. Ini potensial konflik, karena di barat, setelah menikah,
keluarga tidak boleh ikut campur. Intervensi keluarga bisa menjadi
masalah jika tidak ada saling pengertian," jelasnya.
Tak kalah penting yaitu pola pengasuhan anak dan status
kewarganegaraan anak. Misalnya, jika di masa mendatang perceraian tak
bisa dielakkan, status anak berpotensi jadi masalah.
Bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing dan hidup
terpisah atau menjalani long distance relationship, Indra menyarankan
agar sebisa mungkin pada tahun pertama pernikahan, kondisi itu
dihindari.
"Karena akan lebih berisiko. Pasalnya, tahun pertama merupakan golden
moment untuk saling kenal. Jika terpaksa terpisah dulu, komunikasi
intensif harus terus dijalankan. Para wanita yang menikah dengan pria
beda negara dan budaya harus lebih siap mental dan lebih bekerja keras
dalam penyesuaian dan mengerti pasangannya, tapi bukan lantas
mengalah.