Rabu, 27 Juni 2012

Indonesia Terancam Masuk Kategori Negara Gagal

Posisi Indonesia tahun ini terancam karena masuk dalam zona bahaya (in danger) menuju negara gagal (Failed States). Gambaran buruk tentang Indonesia terlihat jelas dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index) 2012 yang dipublikasikan oleh lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FPP) di Washington DC, AS.



Indonesia memasuki peringkat ke 63 dari 178 negara. Status Indonesia di tahun ini lebih buruk dibandingkan tahun 2011 yang menempatkan Indonesia pada urutan ke 64 dari 177 negara. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia berada pada urutan ke 6 negara terburuk dan jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Thailand (84), Vietnam (96), Malaysia (110), Brunai (123), dan Singapura (157).

Menurut indeks yang disusun bekerja sama dengan majalah Foreign Policy, semakin besar angka peringkat, semakin tinggi tingkat stabilitas dan semakin rendah tekanan yang dihadapi negara tersebut. Indikator yang digunakan adalah sosial, ekonomi, dan politik sebuah negara secara keseluruhan, kemudian diberi tanda warning, moderate, dan sustainable.

Hasil kajian FPP menyebutkan, kondisi Indonesia memburuk salah satunya di indikator menyangkut tekanan penduduk. Buruknya infrastruktur, maraknya pengangguran dan korupsi, rendahnya pendidikan dan kesehatan dan kehancuran ekologis adalah beberapa contoh nyata. Berkaitan dengan itu, tulisan singkat ini akan memaparkan mengapa Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam sampai menjadi negara gagal?

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Kekayaan hayati Indonesia seperti hutan luasnya (yang tersisa) menurut Bank Dunia sekitar 94.432.000 ha pada 2010. Sekitar 31.065.846 ha diantaranya adalah hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kekayaan laut Indonesia juga melimpah. Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 81.000 km.

Sekitar 7% (6,4 juta ton/tahun) dari produksi lestari total ikan laut dunia berasal dari Indonesia. Indonesia merupakan produsen terbesar kedua untuk timah, ketiga untuk tembaga, kelima untuk nikel, dan ketujuh untuk emas dan batubara. Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar ketiga di dunia setelah Australia dan China.

Indonesia memang kaya sumber daya alam. Tetapi sayang, kekayaan alam tersebut hanya dinikmati asing dan segelintir pribumi. Perusahaan transnasional menguasai sebagian besar kekayaan alam Indonesia melalui jeratan utang dan undang - undang yang pro mereka. Indonesia sudah terjerat utang. Walaupun akumulasi cicilan utang, baik bunga ataupun pokok selama 2000 - 2011 telah mencapai 1.843,10 triliun, tetapi jumlah utang justru bertambah.

Tahun 2010, utang luar negeri tercatat Rp 1.667 triliun. Pada tahun anggaran 2011, utang luar negeri sudah mencapai Rp 1.803 triliun dan 2012 sudah mencapai Rp 1.937 triliun. Dalam pagu APBN-P 2012, pembayaran cicilan pokok dan bunganya mencapai Rp 322,709 triliun, dengan rincian cicilan pokok terdiri dari cicilan pokok Rp 200,491 triliun dan cicilan bunga Rp 122,218 triliun. Utang luar negeri terbukti menjadi perangkap bagi Indonesia hingga dikuasai kepentingan asing.

Dominasi asing di Indonesia adalah fakta yang tidak terbantahkan. BP-Migas mencatat bahwa penguasaan 56 kontrak kerja sama minyak dan gas di Indonesia mayoritasnya adalah asing. Exxon Mobil mendapatkan keuntungan total dari penjarahan di bumi pertiwi ini hingga $ 36,1 miliar pada 2005. BP-Amoco yang memproduksi 10% gas nasional mengeruk keuntungan US $ 1,3 miliar per tahun.

PT Freeport McMoran Indonesia mendapatkan keuntungan US $ 4,074 miliar. Sementara Indonesia hanya mendapatkan US $ 1,7 miliar melalui pajak dan royalti. Pendapatan bruto PT Newmont pada 2003 mencapai Rp 948,635 triliun per tahun atau 2/3 APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara)Indonesia setahun.

Mereka berlimpah harta dari hasil menambang kekayaan alam Indonesia. Gaji para direktur antara US $ 200,000 - US $ 300,000 per bulan. Sementara penduduk sekitar tambang hidup dengan penghasilan dibawah US $ 1 per hari. Inilah dampak dari kebijakan neoliberalisme yang pro utang dan asing. Warning dari FPP hendaknya menjadi momentum untuk keluar dari jeratan hutang dan dominasi asing agar negeri ini tidak terpuruk ke jurang kegagalan.